Tadi kami melakukan suatu latihan menarik bernama “Forum Berpikir Besar”. Kami masing-masing diberi waktu 2-3 menit untuk berbicara tentang ide apapun yang sedang ada di bagian terdepan pikiran kami. Di ronde pertama, aku menjadi orang pertama yang berbicara, dan di ronde kedua, aku menjadi orang terakhir yang berbicara.
Tadinya, sebenarnya, aku sudah menyiapkan kerangka untuk apa saja yang akan aku bahas dalam 3 menit yang diberikan. Namun, di tengah-tengah mendengarkan bahasan orang lain, muncul ide menarik: bagaimana kalau aku mencoba membicarakan sesuatu yang merangkum semua ide yang lain, mencari benang merah? Aku senang mencari benang merah dari hal-hal yang tampaknya tidak berhubungan. Benang merah yang kutemukan tadi adalah: perspektif, suatu hal yang akhir-akhir ini juga sering kupikirkan karena sangat menarik dilihat dari sisi budaya. Lalu, kupikir, topik ini juga sekalian bisa jadi topik untuk AES hari ini.
Perspektif adalah salah satu hal utama yang mendorongku untuk tertarik pada antropologi. Latar belakang kita, baik secara budaya, pengalaman, nilai-nilai, kepribadian, preferensi, dan sebagainya; bisa sangat berdampak pada cara kita melihat dunia. Salah satu contoh yang paling menarik (sepertinya pernah aku ceritakan sebelumnya di AES tapi tidak apa-apa, karena relevan) adalah hal yang sederhana dan mendasar: warna. Peneliti menemukan bahwa bangsa-bangsa yang cenderung “primitif” (lagi-lagi, itu juga tergantung perspektif) biasanya hanya mempunyai kata untuk warna hitam dan putih. Seiring dengan berjalannya 1, biasanya mulai muncul warna merah, lalu biru, kuning, dengan urutan tertentu yang kurang-lebih sama untuk berbagai suku di dunia. Dalam bahasa Rusia, biru gelap dan biru terang dianggap sebagai dua warna yang berbeda. Pertanyaannya adalah: apa saja warna-warna yang tidak kita “lihat”, hanya karena bahasa kita tak punya istilahnya?
Dulu waktu aku kecil, aku selalu heran saat orangtuaku mengatakan warna krem itu merah muda atau cokelat muda. Padahal, aku selalu mengenalnya sebagai krem. Warna adalah hal yang begitu sederhana. Bila perbedaan perspektif terhadap warna saja bisa begitu menarik dampaknya, apalagi sesuatu yang lebih abstrak, lebih luas. Itu kenapa perbedaan perspektif budaya bisa begitu divisif. Ilmu-ilmu Barat dan Timur terkesan begitu berbeda, padahal mungkin memiliki tingkat kemanusiaan yang sama. Kolonialisme, penyebaran budaya dan agama, adalah sebuah contoh konflik perspektif: karena budaya Timur dianggap lebih rendah, maka harus digantikan dengan budaya Barat yang lebih “tinggi”. Apakah globalisasi seperti ini selalu menjadi sesuatu yang bagus?
Begitu luar biasa bahwa kita tidak akan pernah bisa mengalami dunia dengan cara yang sama seperti orang lain. Akan selalu ada perbedaan pengalaman yang kecil-kecil, pemahaman yang berbeda. Perspektif tidak bisa disama-ratakan, perspektif adalah sesuatu yang abstrak dan bahkan bisa fluktuatif. Kita tak akan pernah bisa memahami semua perspektif, dan memang tidak perlu. Tapi semua hal ini begitu menarik untuk diamati.
WOW... Ini juga esai yang keren. Perspektif yang menarik tentang perspektif - mengenai sudut pandang. Keren Ara. Pertanyaannya apakah betul budaya barat lebih tinggi? Atau sekedar dipersepsikan lebih tinggi?☝
terimakasih Kak! Memang menarik.. mungkin karena dunia sudah terlanjur terlalu barat kita jadi sulit kembali ke akar timur kita dan melihat itu secara lebih objektif