Hari ini, aku menonton beberapa video mengenai konsep yang baru untukku: geoengineering. Geoengineering adalah intervensi buatan dalam skala planet terhadap atmosfer, tanah, atau laut, yang memberi dampak pada iklim bumi. Dengan banyaknya emisi karbon dioksida dalam abad terakhir, kita sudah secara tak sengaja melakukan geoengineering. Sekarang ilmuwan sedang mempertimbangkan melakukannya lagi, untuk membantu meminimalisir dampak buruk yang memicu pemanasan global.
Setelah ledakan Krakatau di tahun 1883 (hmhm spoiler musikal), teramati ada penurunan suhu bumi yang cukup signifikan. Ledakan-ledakan gunung lain juga banyak menurunkan suhu. Ini karena asam sulfur di dalam asap gunung berapi itu bisa tertahan di dalam stratosfer, lalu memantulkan radiasi matahari, sehingga mengurangi panas yang terkena kita. Ilmuwan mencari cara untuk mereplikasi hal ini: bisa dengan mengecat atap bangunan jadi putih, atau membuat awan menjadi lebih putih, atau memasang awan asam sulfur buatan, atau mengirimkan panel reflektif ke luar angkasa…
Hal ini terlihat seperti solusi yang begitu keren, tapi ada banyak juga kekhawatiran. Bumi itu sangat mudah terganggu keseimbangannya. Kalau satu hal kecil berubah, bisa satu-persatu memberi dampak pada sistem bumi. Apalagi kalau perubahannya sesuatu sebesar ini. Bahkan dengan menggunakan bantuan teknologi modern untuk memperhitungkan hal-hal ini, kita masih belum bisa yakin dan akurat. Risk-nya terlalu besar, dampaknya terlalu luas. Bagiku, ada juga pertimbangan moral.
Apakah ini memang langkah yang paling bijak? Apakah manusia punya hak mengubah-ubah planet kita sebanyak ini? Atau apakah kita memang harus memperbaiki seluruh masalah yang sudah kita buat? Apakah memperbaiki caranya harus seperti ini? Apa garis batasan antara ‘merelakan’ dan ‘pasrah’ dan ‘tidak peduli’ dan ‘takut dan melupakan’? Kurasa salah satu kemauan sentral manusia adalah untuk mengetahui segalanya, menjadi segalanya. Banyak dampak baiknya bagi spesies kita, tapi juga banyak timbal balik buruknya.
Inspirasi: