AES01- Gulali, Letjes dan Saya
Arief Djati
Sunday August 8 2021, 1:34 PM
AES01- Gulali, Letjes dan Saya

Saya bertemu dengan tukang gulali di pasar sebulan lalu. Di Tahun 2021. Meski tidak ada pembeli, dia tetap asyik menciptakan berbagai bentuk (binatang) dengan gulalinya. Menyaksikandia berkreasi, saya jadi teringat ketika bersekolah jaman dahulu sekitar tahun 1970-an.

Sekolahnya berlokasi di Malang, sekitar 90 km dari ibukota Jawa Timur, Surabaya. Waktu itu kota berketinggian sekitar 475 m dpl ini cukup dingin. Suhu pagi, seingat saya berkisar antara 16°-18° C dari termometer rumah. Ketika itu, kalau jalan kaki di sudut kampung sewaktu pagi hari, kadang kala saya masih bisa melihat puncak Semeru dengan asap tipisnya.    

Sekolah itu sekolah negeri kecil, dengan tiga SD, yakni Sanansari 1, 2 dan 3. Saya sendiri bersekolah di SD 3 karena semua kakak juga bersekolah disitu dulunya. Kepala sekolahnya seorang Madura bernama  Atmo. Sarjana muda IKIP Malang, dia adalah kepala sekolah yang baik dan tegas. Badannya sedang, cukup kekar, dan kumisnya melintang tebal seperti kumis Pak Sakera dalam cerita ludruk di Jawa Timur. Kalau waktu senggang, dia sering memilin-milin kumisnya sehingga, diam-diam, kami (dan orang-orang lain) menyebutnya Atmo plintir (pilin). Dan rasanya dia juga mahfum akan panggilan itu. Perokok, tetapi tidak pernah merokok di depan murid-muridnya.

Walaupun bangunan sekolah kami rusuh, bocor di sana sini (dan sering becek kalau musim hujan), tetapi kami mempunyai kemewahan yang luar biasa, yakni lapangan sepakbola dan 4 lapangan volley ball di depan sekolah. Lapangan itu milik warga desa, tetapi kami bebas memakainya. Sering kami berlari-larian, bermain gobak sodor, bermain sepak bola atau bentengan dan permainan lainnya ketika istirahat. Kalau musim hujan, lapangan itu sering berubah menjadi kubangan air dan kami kadang berhujan hujan dan bermain-main di kubangan.

Selain itu, karena banyaknya pohon mahoni dan kenari yang mengelilingi lapangan, maka ada juga anak-anak yang suka memanjatnya. Dari  semua murid di sekolah itu, yang paling jago memanjat adalah Sondol.  Lupa saya nama aslinya. Sayang pohon-pohon besar itu sudah tidak ada lagi ketika saya mampir ke sana dengan Ara beberapa tahun yang lalu.

Tidak ada seragam, tidak ada sepatu dan tidak ada tas atau buku ketika bersekolah. Semuanya bebas.  Baju seadanya, dengan sandal jepit atau telanjang kaki. Buku tulis hanya membawa satu atau dua. Maklum jaman itu buku tulis masih susah dan kertasnya kertas merang. Kebanyakan buku buatan pabrik Letjes di Probolinggo atau Basuki Rahmat di Banyuwangi. Selain itu tidak ada. Pernah juga, dalam periode yang pendek, sebelum ada buku-buku Letjes kami memakai sabak – semacam papan tulis kecil.

Kehadiran sekolah mengundang para pedagang berjualan di sekitarnya. Mereka menjual berbagai macam makanan   seperti Es dawet, brem, buah rukem (Flacourtia rukam), tebu kupas, gulali, keong, mainan bunga tebu dan lainnya. Yang menjual tebu, misalnya, tebunya sudah dikupas, dipotong kecil-kecil seukuran buku jari, lalu ditancapkan dalam tusuk bambu yang dipotong sedemikian rupa seperti bunga. Yang menjual mainan bunga tebu biasanya muncul ketika musim tebang tebu. Bunga tebu itu dibentuk menjadi mobil-mobilan, senapan atau pistol. Atau, yang selalu menjadi kesukaan saya, batangnya dipotong sedepa demi sedepa, lalu sepasang diikat dengan tali, dipelintir, nanti yang satunya akan terbang. Ada juga yang jualan Yoyo. Layang-layang. Yang jualan keong biasanya hadir pada musim tertentu. Dijual dengan harga berbeda tergantung besar kecilnya keong. Kami suka membangunkan keong itu dengan mendekatkan ke mulut, lalu menghembuskan nafas kuat-kuat, sehingga keongnya akan keluar.  Kalau caranya sedikit keliru, keong bisa saja mencapit lidah kita.

Ada teman lain yang suka mengadu keong. Keongnya diadu balapan, dari garis start sampai finish. Yang duluan sampai finish adalah pemenang. Yang menang boleh mengambil keong yang kalah, untuk kemudian dijual lagi, atau disimpan.  Saya tidak suka adu keong. Saya lebih suka membiarkan keong, atau kalau tidak mengajak dia ikut bermain, dengan menjadikan dia penarik mobil-mobilan kecil di rumah.

Kembali ke tukang gulali. Orangnya masih muda, rambutnya ikal, kulitnya hitam dan badannya gemuk. Biasanya dia memakai topi. Giginya agak tongos, dengan banyak panu di sekujur badannya. Namanya Legiman.  Dia membuat gulali dengan meleletkan semacam gula ke dalam tusukan kecil dari bambu. Gulalinya berbentuk bulat seperti koin. Harganya? Yang bulat kecil sederhana hanya Rp 1 sedangkan yang lebih besar berbentuk binatang seringgit (Rp 2,5)  ingat saya. Pak Legiman, ketika itu kami panggil lèk – ini kepanjangan Paklèk atau paman. Karena plastik masih jarang, maka  Jaman itu gulalinya dibungkus ke dalam kertas. Bukan kertas koran yang mahal, melainkan kertas merang atau kertas lainnya.

Kertas lainnya ini harus diberikan penekanan. Sebab kertas itu kebanyakan berasal dari buku tulis kami. Entah siapa yang memulai, si lèk  penjual gulali ini mau menukarkan sepotong gulalinya dengan 3-4 lembar kertas buku kami. Kalau stok kertasnya masih banyak, artinya banyak murid yang menukar, atau dia sendiri punya stok, dia bisa menolak barter itu. Tapi itu sangat jarang. Legiman lebih sering setuju bertukar kertas dengan gulali. Walaupun gulali yang diberikannya lebih kecil dariapada yang dijual, tetapi kami sudah cukup senang.

Yang juga menerima penukaran kertas adalah penjual buah rukem. Tapi kami jarang mau menukarkan dengan rukem. Selain karena pohon itu banyak di daerah kami, rasanya juga sering masam. Harus ada trick khusus supaya tidak masam. Biasanya biji yang akan dimakan harus digosok-gosokan ke tangan sampai agak empuk.

Belakangan, sesudah SMP, saya baru tahu pertukaran itu namanya barter. Rasanya barter begitu sudah menjadi kenangan sekarang. Tidak in lagi. Maklum situasi dan kondisinya sudah berbeda, bukan?

 

Andy Sutioso
@kak-andy   3 years ago
Waaah ada tulisan pertama dari mas Arief Djati. Terima kasih atas cerita masa kecilnya di Malang. Banyak kata-kata yang memicu memori muncul ke permukaan. Buku tulis Letjes salah satunya... Sabak saya tidak mengalami. Masa kecil saya di Kota Bandung saja. Terbayang jaman dulupun berbeda situasinya antara di daerah dan di perkotaan.

Tulisannya panjang pula mas Arief - ini sih bukan atomic essay lagi... Mungkin tiga tulisan menjadi satu.
Walaupun begitu selamat datang di ruang penulisan ini. Selalu bahagia menyambut warga Smipa yang bersedia berbagi cerita. 🙏🏼
joefelus
@joefelus   3 years ago
Letjes! ini buku tipis berwarna biru bisa dilipat masuk kantong belakang. Buku kebanggaan anak tukang bolos hahahaha... Kalau Gulali saya senang yang berbentuk burung dan kalau ditiup seperti peluit. sayangnya ngeri kalau mau beli karena untuk membetuknya, si penjual harus meniup gulali itu panas-panas hingga bagian tengah mengembung agar berbentuk burung sesudah bagian sayapnya dibentuk pakai gunting. Membayangkan penjualnya meniup saya selalu mengurungkan diri kalau mau beli. Oh iya, di kampung saya gulali suka ditukar dengan panci aluminum bocor dll hehehehe