AES014 Mengapa Project Based Learning (PBL) Sering Gagal Diterapkan?
braja
Saturday September 28 2024, 12:13 AM
AES014 Mengapa Project Based Learning (PBL) Sering Gagal Diterapkan?

Beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah cuitan menarik dari Mas Ainun Najib di akun Twitter/X. Dalam cuitan tersebut, ia menyebut bahwa Project Based Learning (PBL) hanyalah sekadar tren dan pada kenyataannya “doesn’t work” atau tidak berjalan dengan baik. Pernyataan ini tentu menimbulkan tanda tanya: Apakah benar demikian?

chrome_thgXMBu0Xt.png

Jika kita melihat implementasi PBL di lapangan, memang banyak guru yang masih kesulitan menerapkan metode ini secara utuh. PBL yang ideal mengharuskan siswa bekerja pada proyek-proyek yang relevan dengan permasalahan sehari-hari, mengaplikasikan pengetahuan dari berbagai mata pelajaran untuk menemukan solusi. Di Indonesia, pendekatan ini didorong dalam Kurikulum Merdeka melalui proyek profil pelajar Pancasila. Namun, banyak tantangan yang muncul di lapangan.

Tantangan Penerapan PBL di Indonesia

Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh para guru adalah beban materi yang begitu banyak. Guru-guru sering kali merasa terbebani dengan kurikulum yang padat sehingga sulit untuk merancang proyek-proyek yang ideal, apalagi yang melibatkan kolaborasi lintas disiplin ilmu. Akibatnya, banyak siswa yang akhirnya justru kesulitan memahami materi dasar karena waktu untuk pembelajaran mendalam berkurang.

Di sinilah peran penting taksonomi Bloom muncul. PBL pada dasarnya menuntut siswa untuk berpikir pada level kognitif yang lebih tinggi, seperti analisis, evaluasi, dan mencipta. Namun, untuk mencapai tahap ini, siswa harus terlebih dahulu menguasai level dasar, seperti mengingat, memahami, dan menerapkan konsep-konsep yang diajarkan di kelas. Ini berarti, PBL akan sulit berjalan jika siswa belum menguasai fondasi materi dengan baik.

Maslow Sebelum Bloom

Selain aspek kognitif, ada hal lain yang tidak kalah penting: kebutuhan dasar siswa. Penerapan PBL yang efektif tidak hanya soal taksonomi Bloom, tetapi juga tentang memastikan kebutuhan dasar siswa terpenuhi—sesuai dengan piramida hierarki Maslow. Siswa yang belum merasa aman, nyaman, dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya tentu akan kesulitan belajar secara optimal. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan prinsip "Maslow before Bloom". Setelah kebutuhan dasar siswa terpenuhi, barulah kita dapat berbicara mengenai pembelajaran yang melibatkan analisis dan kreativitas.

Kompleksitas Pendidikan di Indonesia

Tantangan PBL tidak dapat dilepaskan dari masalah besar dalam sistem pendidikan kita. Kurikulum yang kerap berubah, perbedaan kebijakan antara daerah, serta kualitas guru dan fasilitas sekolah yang tidak merata menjadi faktor-faktor penghambat. Di samping itu, kesejahteraan guru yang belum optimal dan kurangnya dukungan dari orang tua serta masyarakat dalam memprioritaskan pendidikan menambah kompleksitas masalah ini.

Namun, meskipun kompleks, PBL tetap membawa potensi besar bagi siswa. Melalui metode ini, siswa dapat langsung terlibat dalam upaya memecahkan masalah nyata, yang pada akhirnya melatih mereka dalam soft skills seperti kemampuan komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Ini adalah keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja saat ini dan masa depan, di mana mereka tidak hanya bersaing dengan siswa dari negara lain, tetapi juga dengan kecerdasan buatan.

Kesimpulan

PBL bukanlah metode yang sempurna, dan penerapannya di Indonesia masih jauh dari ideal. Namun, dengan perbaikan kurikulum, peningkatan kualitas guru, dan dukungan penuh dari berbagai pihak, PBL dapat menjadi metode pembelajaran yang efektif dan relevan. Tantangan yang dihadapi guru dan siswa dalam menerapkan PBL bukanlah alasan untuk meninggalkannya, tetapi justru harus menjadi dorongan untuk terus mencari solusi dan melakukan inovasi dalam dunia pendidikan kita.

You May Also Like