Kendala terbesar apa yang dihadapi? Malas, katanya.
Akh..! seng tipu-tipu. Malas itu bukan kendala. Malas adalah pertanda.
Kendala sebenarnya adalah ikut-ikutan kata orang yang bilang, “Malas adalah kendala.”
Berhentilah menipu diri sendiri, berhenti menduplikasi kalimat orang lain. Berhenti sejenak, pikir, baru ber-kata sendiri.
Malas adalah pertanda bukan kendala.
Seperti berpikir adalah bergerak badan, bukan merenung terduduk kepikiran.
Terbaring-baring badan yang mulai tren dengan istilah rebahan, inilah yang membuat pertanda jadi kendala.
Pertanyaan sederhana sepertinya mulai perlu ditanyakan, tanpa dipertanyakan. Jadi persoalan, bukan permasalahan.
Pertanyaanya, “Saat kita berjalan, benarkah kita menapak atau sekadar melempar kaki ke depan?”
Kalau melempar kaki, wajar lah cidera. Niscaya malah.
Menapak lah kalau hendak bijak, menapak lah kalau hendak berpijak. Malas bukan kendala, justru adalah pertanda. Mengingatkan kita kaki masih dilempar untuk melangkah. Mengingatkan kita untuk menapak dalam melangkah.
Malas berarti perlu menemukan jalan lain untuk ditapaki, bukan sekadar dilangkahi. Dilalui, bukan sekadar dilewati. Malas mengajak kita untuk kreatif, bukan sekadar produktif. Konstruktif, bukan sekadar obsesif.
Malas lah sampai puas pada jalan yang memalaskan itu, agar kaki yang menapak dapat melompat kepada jalan yang menyegarkan. Dalam nilai yang sama, pada arah tujuan yang sama, banyak jalan menuju ke sana.
Jadi, malas itu sudah membuka pintu baru apa? Malas itu sudah memperlihatkan jalur baru yang mana? Malas itu sudah menciptakan sesuatu yang baru bagaimana? Malas itu sudah membangun keahlian baru yang mengefisienkan diri kah?