Guru bukan dewa dan murid bukan kerbau, kira-kira begitu kata Soe Hok Gie. Mungkin, dulu kata-kata ini ditujukan kepada para siswa yang sedang belajar. Agar tidak mendewakan gurunya dan mengkerbaukan dirinya.
Sepertinya ini sepaket, mendewakan gurunya dengan cara mengkerbaukan dirinya sendiri. Seperti, tergantung pada apa yang diberikan oleh dewa kepada kerbau. Selalu meminta kepastian dan kejelasan dari dewa bagi kerbau.
Bahkan, menuntut kesempurnaan dewa karena begitu mengimani kalau dirinya kerbau. Makanya Rumi bilang, kita hanya bisa memberitahu orang yang sudah tahu. Kalau tidak begitu, seperti meminta vokal A kepada kambing, yang hanya bisa vokal B.
Sekarang, sepertinya kata-kata dan katanya itu lebih ditujukan kepada orang tua para siswa. Karena sadar tidak sadar, mereka lah yang mendewakan para guru dan mengkerbaukan para murid. Dengan segala tuntutan kepastian.
Apakah tuntas kalau semua kepastian itu diberikan dan diterima, sehingga semua berjalan sesuai keinginan? Apakah dengan kendali orang tua para siswa itu, terciptalah para kerbau dan dewa kerbau? Tidak, sepertinya.
Malah terciptalah monyet, sepertinya sih. Seperti kata Soe Hok Gie lagi, “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan. Saya merasa seperti monyet tua dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja (karya) lagi.” Terkurung kesudah pastian.
Lah, siapa yang ngurung? Jangan-jangan si kambing tadi ya!? Hmmm… Beeeeeee’ Gitulah kura-kura. Eh, kira-kira. Pun, kutipan ini bukan hanya untuk guru & murid dalam konteks sempit. Aslinya dalam konteks luas malahan. Pemimpin & peserta (bukan pengikut). Ketua & anggota. Kantor & lapangan.
Kerbau dan dewa. Kambing dan monyet. Kura-kura & kira-kira. Kecoak dan kupu-kupu, eh… ini sih lagunya band netral.
Reff:
Dua sisi dua muka
Dua wajah yang berbedaKecoa dan kupu-kupu2x
Mbaca judulnya tadi saya kira kak Leo lagi ngebahas dewa kerbau di sun go kong. Eh itu mah siluman kerbau ya. Lagi belajar jd ortu yg tidak mendewakerbaukan sekolah nih. ☺️