Aku baru membaca berita yang sedang marak berseliweran di media sosial tentang kekerasaan yang dialami seorang aktor baik fisik maupun verbal hingga pencemaran nama baiknya. Aku tertegun sendiri, dan merasa sedih karena dibalik fakta pemberitaan yang belum sampai pada kebenaran valid pihak mana yang sebenarnya dirugikan itu, mengingatkan aku pada beberapa waktu lalu, pernah mengikuti instagram seorang penulis (script writer) yang juga mengangkat isu serupa.
Saat itu ia bicara mengenai apa yang sempat dialami oleh ibunya dan kerap memberikan motivasi pada yang juga sedang/pernah mengalami kekerasan. Tapi aku gak akan membahas ini sampai mendalam. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa ada yang terlupakan saat dihadapkan pada situasi seperti itu, yaitu alasan seseorang mau bertahan dan merasa sulit keluar. Dan ternyata ketika seseorang berhasil keluar dari situasi tersebut, deret luka panjangnya perlu dibenahi dalam waktu yang gak singkat. Belum lagi jika ini terjadi di dalam sebuah keluarga, meski anak (mungkin) tidak secara langsung mengalami, ia tetap merasakan hingga menyimpan luka yang sama seriusnya.
Aku pernah bertemu dengan anak yang menyaksikan bentuk kekerasan di keluarganya, tidak hanya satu. Bahkan di dalam keluarga yang "baik-baik" saja, sampai aku bertanya "Sisi mana yang membuatmu merasa terluka?" Nyatanya harapan besar dari orangtua terhadap anak pun bisa melukai. Aku merasa tertampar oleh fakta tersebut, sebab apa yang dibutuhkan anak tersebut sederhana; yakni orangtuanya bisa menerima bahwa perasaan anaknya itu valid.
Dua sisi antara pelaku dan penerima perilaku tersebut membuatku berpikir jauh kemana-mana. Sempat juga kubahas bersama kakak sekaligus sahabatku tentang seseorang yang 'butuh panggung' karena merasa perlu terlihat sampai pada seseorang yang 'butuh merendahkan' orang lain sebagai ajang pembuktian diri dan mungkin saja orang-orang yang melakukan kekerasan pun karena pernah juga menerima hal serupa. Sama halnya ketika seseorang butuh 'mem-bully' demi menyenangkan sebagian dirinya, bisa jadi karena selalu merasa ada yang kurang dalam dirinya. Tentu menyelesaikan hal ini gak mudah selama masing-masing pihak belum mengenal dirinya sendiri.
Aku pernah mendengar sebuah nasihat, katanya merendahlah sampai tidak ada yang mampu merendahkanmu. Kurasa ini bisa menjadi hal yang benar, sehingga orang yang berusaha menyakiti merasa gak lagi punya kesempatan untuk berbuat seenaknya. Tetapi untuk dapat sampai di fase itu, support system-nya juga harus memadai. Iya, ibarat akar yang kuat kan pasti akan membuat si pohon menghasilkan banyak kebermanfaatan. Tetapi kembali pada orang-orang yang masih terjebak dan belum berhasil keluar dari situasi tersebut, kurasa memang perlu adanya pihak ketiga yang membantu. Jangan sampai pesan yang sering diangkat oleh Iim Fahima terulang di anak-anak lainnya.