AES052 Labirin
yulitjahyadi
Friday October 15 2021, 10:00 PM
AES052 Labirin

Jika sebuah labirin dilihat dari perspektif mata burung, pastilah tampak sederhana dan mudah saja untuk dipahami jalur-jalurnya. Tentu jauh berbeda dibanding ketika berada dalam labirinnya. Pandangan mata yang terbatas dan terhalang oleh tembok labirinnya, atau rasa frustasi jika terus menerus bertemu jalur yang buntu, atau rasa sendirian saat berjalan di jalurnya, pasti akan menambah kesan sulit dalam menemukan jalan keluar atau jawaban yang dicari. 

Manusiawi jika nalar berusaha mengingat setiap pengalaman ruang yang dilalui agar tak terjebak masuk jalur yang sama berkali-kali. Manusiawi juga jika keinginan untuk segera melampaui si labirin mendorong usaha yang tak henti.

Meski demikian kekuatan diri dan pikiran bukanlah satu-satunya cara. Usaha  manusiawi punya keterbatasannya, justru di saat ini termuat kesempatan untuk berinteraksi dengan kekuatan lain di luar diri yang bisa memandu seperti mata burung di ketinggian. Interaksi itu dimulai dengan kepasrahan. Di sini pasrah bukan berarti tanpa usaha, seperti robot yang menunggu digerakkan, melainkan pasrah yang menyeimbangkan usaha. Kepasrahan ini adalah bentuk keberanian, semacam nyali untuk melepaskan diri dari semua hal yang terjangkau, terpahami dan terkendalikan. Setiap bentuk interaksi pasti membutuhkan ini. Keyakinan membutuhkan sedikit banyak kepasrahan. Semakin percaya, semakin berani, akan semakin nyaman pula untuk melepaskan diri kepada yang dipercaya.

Yang belum tampak, memang bisa jadi kegelisahan dan ketidaknyamanan, sehingga alih-alih pasrah malah justru kembali menarik diri. Padahal tuntutannya adalah percaya terlebih dulu, karena ketika keyakinan yang memimpin, ia akan membentuk energi positif yang jadi permulaan adanya manifestasi. Perwujudan itu jadi seperti reward dari adanya kepercayaan. 

Meski koneksi dengan kekuatan di luar diri itu tak nampak, bukan berarti tak ada relasi yang terjadi. Saat berhenti berbicara maka pasti mulai mendengar lawan bicaranya, saat mulai melepas kontrol berarti membiarkan adanya kontrol lain atas diri, saat mulai menambahkan keberanian atas ketidakpastian maka otomatis jadi lebih terbuka pada banyak kemungkinan, dan pada saat apapun menjadi mungkin, batas-batas pengertian pun meluas, terbuka berarti mulai menerima.

Rasa tersesat bukan tak mungkin ada, saat  menghentikan keaktifan diri, dan menjadi lebih pasif dalam rangka menerima. Di sinilah letak strength yang sesungguhnya, kekuatan yang bukan berarti power, melainkan kekuatan untuk diam dalam kepasrahan dan membiarkan diri teraturkan sebagaimana adanya. Surrender... 

Kenyataan dalam menjalaninya juga sama sulitnya dengan upaya menjelaskannya, tapi sekali terlampaui, kepercayaan itu akan berbuah umpan yang memancing kepercayaan lain yang keluar dan lebih besar, dan kembali berbuah umpan yang lebih besar daripada sebelumnya yang memancing kepercayaan yang lebih besar pula, dan seterusnya. 

Maka lalu berjalan di labirin jadi tinggal pengalaman yang hanya perlu dijalani dan dinikmati karena adanya relasi dan interaksi yang menyenangkan dengan si pemandu tanpa suara itu. 

The ultimate act of power is surrender ~ Krishna Das

Surrender is deeply misunderstood as an act of weakness. Surrender is the bravest and most lucid thing a human ever does, and that's why it's so precious to the Divine ~ Andrew Harvey