Selalu memesona bagiku melihat bangunan-bangunan yang setengah-runtuh, termakan akar pohon, atap yang pecah diterobos dedaunan. Bangunan-bangunan ini ada di mana-mana, di sudut-sudut kota yang ramai, di jalan-jalan utama. Selalu hidden in plain sight, sunyi dalam keterlupaannya. Tidak menarik perhatian. Atau, menarik perhatian takut-takut.
Aku ingat di Kota Lama Semarang ada satu bangunan yang besar, luar biasa luas, melebar sepanjang jalanan. Hanya tembok luarnya yang tersisa, dengan pintu yang keropos. Kita bisa mengintip ke dalam: seluruh isinya sudah dilahap oleh belukar. Pohon-pohon menjulang tinggi. Kelihatannya tidak nyata. Seperti hutan liar dalam kekang tembok bata.
Ada juga bangunan-bangunan serupa di Kota Tua Surabaya. Akar gantung meluap keluar dari temboknya, menjilat-jilat ke arah lampu jalanan. Kubayangkan, di malam hari, tikus-tikus kota memanjat dan berpesta di tengah reruntuhan.
Ibuku selalu takut atau sedih katanya kalau melihat rumah-rumah seperti itu. Aku juga, sebenarnya, karena sayang melihat rumah yang begitu indah jadi terlantar begini. Kebanyakan rumah-rumah ini adalah rumah kuno, yang sudah ada dari zaman Belanda. Sayang sekali bahwa tidak ada usaha lebih untuk mempertahankan kondisinya untuk tetap sebaik mungkin. Mereka malah dibiarkan runtuh perlahan, berlumut, berdebu.
Tapi juga ada suatu keindahan di dalam kerusakannya. Bahwa alam akan selalu menemukan cara untuk kembali. Bahwa kita bisa hidup berdampingan. Semuanya selalu tampak begitu ajaib. Di antara liar dan tidak, kaya akan fantasi urban. Rasanya ada begitu banyak potensi untuk dongeng, ruang untuk imajinasi.
Inilah yang ada di bayanganku ketika orang berbicara tentang taman hutan kota. Sebuah reklame dari alam, bahwa sudah tiba saatnya kepingan-kepingan kota kembali ke dalam tangannya. Seperti sebuah kapsul kecil, setitik hijau di tengah abu beton. Semua bisa terasa puitis kalau dilihat dari sudut yang tepat.