Spiritualitas tidak lain adalah upaya untuk mengelola raga. Karena raga adalah kuil bagi roh. Jiwa adalah kualitas yang tercipta dari interaksi raga dan roh. Makanya yang dibilang sebagai jiwa yang murni, tidak lain adalah harmoni keseimbangan badan dan roh.
Kutipan ini saya dengar dari beberapa orang yang menganalisis mengenai apa itu spiritualitas dan apa kaitannya dengan badan. Istilah keren mereka, yang saya lupa namanya siapa saja itu, adalah menemukan titik tengah antara idealisme dan materialisme. Antara eksistensial dengan yang esensial.
Dari hasil penelitian itu, kesimpulan sementara yang terbaru ya seputar bahwa spiritualitas tidak lain adalah cara mengelola raga. Raga yang dimaksud bukan sekadar badan kita. Raga adalah diri kita sendiri, lingkungan kita berada, dan terutama adalah relasi antara diri kita dengan lingkungan tempat kita berada melalui badan.
Badan yang adalah pemikiran, perasaan, perbuatan, perkataan, yang semuanya terangkum dalam bentuk postur, gestur, mimik, intonasi, dan sejenisnya. Seperti, bagaimana cara kita menggunakan nada saat kita menyampaikan kata yang merupakan buah pemikiran kita, termasuk mimik muka dan gestur tubuh.
Seseorang yang terlatih secara spiritual atau dengan istilah lain spiritualitas yang tinggi, justru adalah yang mampu terlibat di ranah paling rendah sekalipun tanpa kehilangan ketinggiannya. Tanpa perlu meninggikan dirinya untuk mempertahankan ketinggian di tempat rendah. Karena sikap badan sudah menunjukkan tingkat spiritualitas.
Praktisnya gimana ya? Ehmm... mungkin seperti melatih peregangan otot hamstring dengan berbagai pose, adalah untuk mengelola rasa ingin marah saat melihat kebiasaan orang lain yang tidak sesuai kebiasaan kita. Melatih otot trapezius dengan bermacam gerakan, adalah untuk mengelola sikap konformis sekaligus konfrontatif.
Rutin meletakkan lidah di langit-langit mulut sambil bernapas penuh melalui hidung, sambil mengencang-regangkan otot sphincter, adalah untuk mengelola postur badan. Sehingga saat menghadapi kepanikan, hormon mengalir dengan lebih gradual yang tampak dari respon mental yang tenang. Bahkan, bisa bertindak antisipatif.
Sekarang-sekarang ini, saya jadi sering melihat posisi badan saat seseorang termasuk saya sendiri ketika melaksanakan ritual tertentu. Ritual spiritual ataupun ritual-ritualan yang berdasarkan kebiasaan, bedanya kan "hanya" di intensi repetisi ini. Setiap postur akan mengaktivasi kondisi biologis tertentu, yang membuat kita merespon situasi dengan cara tertentu.