Dalam budaya Jawa, dikenal sebuah uangkapan yang mungkin tidak hanya orang Jawa saja yang tahu, kurang lebih demikian, "Dadio wong sing iso rumongo, ojo rumongso iso!" Ungkapan ini memang sudah sangat jarang kudengar, tetapi kakek dan bapakku sering sekali membekaliku uangkapan ini, terutama saat hendak memasuki tahap atau tempat baru. Seperti saat akan merantau di kota lain, saat bergabung ke komunitas baru, dan lain sebagainya. Terutama saat hendak bekerja di tempat yang baru. Tujuannya jelas, serupa dengan arti ungkapan itu. Iso rumongso, artinya bisa merasa (memiliki kepekaan terhadap sekitar), dan rumongso iso bisa diartikan sebagai sikap merasa bisa, atau sekarang sering dijuluki merasa "si paling". Secara utuh, "Jadilah orang yang bisa merasa, jangan merasa bisa!" Tentu saja ungkapan ini masih sangat relevan untuk hari-hari ini dan bahkan seterusnya.
Sekaligus merespon tulisan yang amat menarik dan cukup mind-blowing dari Kak @braja yang berjudul Sastra AI. Hatur nuhun Kak Braja. Berikut pranalanya dapat diklik dan dibaca juga. https://ririungan.semipalar.sch.id/braja/blog/6621/https://ririungan.semipalar.sch.id/braja/blog/6621/aes009-sastra-ai
Mungkin dalam hal mencipta seni atau daya kreasi dan imajinasi yang dianggap hanya milik manusia, robot atau AI tidak akan bisa menjangkaunya. Tetapi dalam tulisan dan percobaan Kak Braja, kita bisa lihat sebuah karya puisi yang bagus dan indah. Manusia yang sebelumnya merasa tenang dan tidak mungkin "terkalahkan" oleh AI diajak kembali merenungkan, ternyata AI bisa. Lalu muncul perasaan atau keinginan agar manusia "jangan mau kalah", atau bahkan "jangan sampai kalah" dengan AI. Mengapa harus takut kalah?
Menyambungkan kembali dengan iso rumongso, romongso iso tadi, menurutku manusia mestinya menghidupi frasa iso rumongso, sementara AI ada di rumongso iso. Sebab, manusia mencipta seni (kreasi dan imajinasi + rasa) tentu saja dari proses merasa (di Smipa disebut literasi diri dan literasi semesta) sehingga bisa merasa. Sementara AI, mereka mencipta puisi dan hal-hal seni lainnya bukan karena mereka merasa, justru sekarang mereka merasa bisa.
Menyoal kalah dan mengalahkan, mungkin manusia akan kalah ketika manusia berhenti merasa, yang mana ini membawa konsekuensi juga berhenti berkarya atau mencipta seni. Sementara AI, selama ada perintah (walaupun tanpa rasa), mereka akan selalu bisa mencipta. Dalam bahasa Jawa, manusia itu disebut MANUNGSO, MANUnggal iNG roSO yang artinya menyatu di dalam rasa (lagi-lagi di Smipa ini disebut literasi diri dan semesta). Jadi, selama kita menjadi manusia, jadilah manusia yang iso rumongso, ojo rumongso iso!
Kali ini aku yang colek Kak @kak-andy @adhmsm @leoamurist @maulrest @yantisuryanii7
main colek2 aja nih nakal wkwk.
Hukum membuat patung dalam ajaran Islam difatwakan haram oleh beberapa ulama, dikarenakan menganggap manusia menantang Tuhan. Akhirnya beberapa ada yang membolehkan karya seni yang surealis atau diakali seperti mahluk hidup yang tidak sempurna contohnya wayang orang yang digeprek oleh wali songo jadi wayang kulit.
Sekarang munculah AI yang saya prediksi 5-10 tahun lagi akan hadir menantang manusia sebagai ciptaan Tuhan. Perlukah kita "mengakali" dan "menggeprek" AI? karena pernah diramalkan dalam sebuah video game berjudul Detroit Become Human, pada suatu waktu AI dengan algoritma yang tak dibatasi akan berevolusi memiliki free will layaknya manusia. Dari sanalah mereka akan meminta merdeka. Kayanya komen ini kepanjangan ya, nanti saya salin jadi satu judul di ririungan deh.
Sekalian nebeng promosi 😂
https://ririungan.semipalar.sch.id/leoamurist/blog/6650/aes453-dewa-kerbau
Rasanya ini kesempatan baik untuk colek @flavius, @mikhail, @lovendria dan kak @braja yang demen teknologi. Mari bertukar esai di ruang ini.
Tulisan saya yang terkait ada di sini : https://ririungan.semipalar.sch.id/kak-andy/blog/2807/aes273-humane-technology