Ini sekedar berbagi cerita pengalaman sekaligus sebagai catatan pribadi agar supaya di masa yang akan datang saya akan lebih mampu memilih dengan bijak mengenai pelayanan kesehatan.
Saya sudah mungkin puluhan kali pergi ke rumah sakit ini, bahkan saya dilahirkan di sini, jaman ketika para susternya masih banyak yang orang Belanda. Jadi sebetulnya ini salah satu rumah sakit ternama yang memiliki reputasi terbaik. Dengan bantuan 2 orang sahabat dan keluarga, saya berhasil membawa Nina ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) karena dia sakit perut sepanjang hari. Yang saya khawatirkan adalah terkena infeksi. Untuk seorang sepsis survival, infeksi apapun, sekecil apapun bahkan luka kecil maupun koreng, bisa mengancam nyawa. Saya tidak mau main-main, apalagi Nina dikenal sebagai orang yang sangat stoic, sangat tahan rasa sakit (ini istilah dokter yang biasa menangani dia), jika Nina sudah merintih-rintih, artinya dia memang sudah sangat kesakitan. Ini semacam tanda bahaya bagi saya sehingga karena saya belum mampu menyupir karena masih sakit, saya meminta bantuan teman-teman.
Dari awal saya sudah mulai sangsi, untuk mencapai pintu IGD saja sudah susah payah. Aksesnya berbelok-belok, sangat minim dan kecil, terhalang orang yang keluar masuk parkir, ini sudah tidak mencerminkan "emergency". Gawat darurat, dari namanya saja sudah seharusnya akses menuju ke sini tanpa hambatan, tanpa halangan, dan mudah. Kondisi ini sudah tidak tercapai. Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bagaimana jika ada pasien yang keselamatannya hanya tergantung pada kecepatan pelayanan? Tidak akan mungkin tertangani di sini.
Saya memang bisa mendapat kursi roda. Lalu sementara Nina ditangani, diambil data-data vital nya seperti suhu tubuh, tekanan darah, detak jantung dan sebagainya, saya harus mendaftar. Hmm.. ini keanehan lain. Prinsip saya, penanganan pasien dahulu lalu administrasi belakangan sambil berjalan. Itu yang selama belasan tahun di rantau saya alami. Tidak jarang saya ke ER, bahkan naik ambulans berkali-kali, saya pernah cerita ini di esai saya. Di rumah sakit ini berbeda. Ya sudah, lain padang lain belalang, saya harus maklumi.
Kami langsung dapat ruangan, bukan kamar, tapi ruangan hanya bersekat sehelai tirai. Ini juga keanehan berikutnya. Bagaimana jika tetangga memiliki penyakit sangat menular? Kontaminasi silang dan proses penularan sangat mudah. Lagi-lagi harus saya maklumi. Fasilitas tidak cukup untuk sekian juta orang di kota ini. Harap maklum! 5 menit, 10 menit, 15 menit. Tidak ada siapa-siapa, hanya saya, 2 orang sahabat serta Nina yang terus mengeluh kesakitan. Ini kah yang dinamakan penanganan emergency? Entah sudah cacat yang keberapa yang saya catat hingga sampai di sini. Lagi-lagi harus saya maklumi. Petang ini IGD terlihat sangat sibuk.
"Halo, apa kamu bisa pura-pura jadi istri saya?" Tiba-tiba terdengar seseorang berbicara di telepon. Dari ruang sebelah. Ada-ada saja!
Saya hanya bengong. Petang ini sangat menarik, saya merasa diselubungi banyak aura negatif. Kemenarikan yang tidak menyenangkan.
Dokter tiba, seorang yang masih belia, sangat ramah dan terlihat sangat reliable, dapat diandalkan, sarat pengetahuan dan sebagainya. Saya mulai agak nyaman. Nina diperiksa dengan seksama, semua riwayat kesehatan sudah kami sampaikan termasuk kekhawatiran dan harapan untuk memperoleh jawaban serta informasi yang tepat dari kondisi yang sedang dialami.
"Terlalu dini, ada beberapa dugaan tapi baru bisa dipastikan sesudah ada hasil laboratorium." Kata dokter.
Sangat masuk akal, dan sangat saya mengerti. Itu yang biasa dilakukan oleh para dokter di States. Tidak bisa asal menduga seperti dulu jaman saya dibom obat-obatan untuk thypus. Saya mulai tenang dan penuh keyakinan bahwa semua akan baik adanya. Dokter pergi dan berjanji akan ada seorang perawat dari laboratorium yang akan menangani. Kami tunggu dan tidak lama seorang perawat tiba menyuntik Nina dengan pain killer agar penderitaan bisa sedikit dikurangi. Sampai di sini saya masih setuju. Lalu ada yang datang lagi, harus diambil sampel faeces katanya, karena diare. Loh? Kok? Saya sedikit berdebat dengan perawat itu lalu dia pergi untuk menanyakan pada dokter. Dia pergi. Lalu seorang perawat lain datang: "Urine saja." Katanya. Lalu Nina dibantu teman saya ke kamar mandi yang entah jaraknya berapa jauh. Maklum tempat ini seperti bangsal yang disekat-sekat oleh tirai jadi kamar mandi menjadi common bathroom.
Sekarang proses menunggu. Saya tanya Nina dimana sampelnya diletakkan dan katanya disuruh salah seorang suster untuk ditaruh di rak khusus. Katanya akan butuh waktu setidak-tidaknya 1 jam untuk mendapat hasil. 2 jam kemudian dokter masuk. "Sudah diambil sampel urinenya?" tanyanya. Kami jawab sudah dan dokter mulai curiga kenapa lama sekali lalu beliau berjanji akan mem-follow up dengan pihak laboratorium. 30 menit kemudian seorang suster masuk dan menanyakan apakah kami sudah memberikan sampel urine. Loh? Teman saya mengajak perawat itu ke tempat dimana kami disuruh meletakkan sampel itu, dan memang masih ada di situ setelah 2.5 jam yang lalu kami taruh, belum ada yang menangani!
Saya marah besar! Untuk sebuah rumah sakit sekaliber ini, kejadian ini sangat memalukan, sangat tidak profesional apalagi ketika perawat di situ kami tegur dia menyangkal. "Bukan saya!" Katanya. Saya menyampaikan kegalauan saya kepada dokter ketika 30 menit kemudian dokter muncul. Beliau berjanji akan mengusahakan hasilnya cepat keluar dan beliau mendukung jika saya menyampaikan protes secara resmi. Saya katakan: "Ini ER, tapi dimana sense of the emergency dari rumah sakit ini? Sangat buruk dan tidak profesional"
"Iya Jo, harus tulis itu di kotak saran. Katanya mereka sedang berusaha mendapat standar internasional." kata sahabat saya yang lain.
"Mau standar internasional dari Hongkong?" kata saya dengan penuh kegeraman.
Dalam hati walau penuh kemarahan saya sungguh bersyukur bahwa dulu ketika Nina mengalami sepsis shock kami tidak berada di sini atau di rumah sakit ini. Walau orang bilang dan saya pernah menganggap ini rumah sakit terbaik, tapi jika peristiwa mencekam itu terjadi di sini, mungkin sekarang saya sudah hidup sendirian. Ini pelayanan gawat darurat terparah yang pernah saya alami seumur hidup. Harus mulai mencari tahu dimana rumah sakit yang lebih baik pelayanannya daripada ini. Saya masih tetap berpendapat, sepertinya banyak orang di sini lebih menghargai orang yang sudah meninggal daripada yang masih hidup. Lihat saja buktinya. Bandingkan pelayaan rumah sakit dengan pengawal mobil jenasah, mana yang lebih cekatan dan tangkas? Case's closed!
Foto credit: matherhospital.org