012 Cerita Senja
wulan bubuy
Sunday September 19 2021, 7:08 PM
012 Cerita Senja

Hari ini kunikmati senja berwarna jingga, terdengar sayup suara anak-anak di luar rumah bercampur deru kendaraan yang sedang berjuang keluar dari garasi. Aku merasa nyaman sekali mendengar semuanya, mungkin karena aku sedang rindu pada riuh ramainya suara. Pernahkah merasa begitu? Seperti merindu suara orang berbincang, gemuruh tawa, derap langkah kaki berlalu lalang. Sesederhana aku merindu berjalan kaki di heningnya malam. 

Namun lamunanku buyar oleh suara cicak, dengan gerak super cepat kuberanjak dari tempatku semula. Tawa anakku menyambut pelarianku, ia sudah hafal betul dan langsung menggeser tubuhnya hingga aku bisa bergabung dengannya. Masih dua puluh lima menit lagi menuju maghrib, kuputuskan untuk mengajak anakku berbincang. Kutanyakan bagaimana perasaannya hari ini dan apa ada hal yang sedang dipikirkannya? 

Ternyata jawabannya membuatku sedikit menyesal memilih pertanyaan diwaktu seperti ini, karena diluar perkiraanku, pertanyaan itu membuatku harus berhati-hati menjawab pertanyaan balik darinya. Menurutnya, ia sedang ada di fase “Fear for self-image”, dan bertanya apakah ini merupakan hal yang wajar diusianya? Meski hatiku berkata cepat sekali ia sudah berada di fase ini, seakan mengkonfirmasi dia bukan lagi anak kecil yang pipinya dulu suka kucium gemas. Tentu saja kujawab dengan, “Tidak kok, itu hal yang wajar”, Kemudian kudengarkan saja apa yang ia ceritakan, sambil berusaha merekam baik-baik momen ini. 

Perjalanannya memasuki usia remaja kini membuatku sering teringat pada bapakku yang saat itu baru bisa bertemu denganku seminggu sekali. Sesekali waktu aku dan ibuku yang mengunjungi beliau. Perbedaan kultur walaupun masih sama-sama di tanah sunda membuatku sering juga berpikir seperti anakku. Penerimaan orang terhadap aku yang tidak cukup memahami kebiasaan disana, serta memikirkan hal sebaliknya, kenapa perbedaan itu harus ada? 

Usai anakku bercerita, kutanyakan lagi satu hal tentang perlu tidak kita selalu menuruti apa yang orang lain mau? Lalu ia mengatakan, “Tidak selalu perlu sih, meski terkadang perlu juga” karena menurutnya, semua masih bisa dibicarakan dan tidak perlu memaksakan diri. 

Aku setuju dengan pendapatnya, sebab kita tidak bisa memenuhi semua, terkadang ada hal-hal yang terpaksa kita pilih dan kita tinggalkan. Tidak melulu soal apa pendapat orang lain, tetapi bagaimana kita mengenalkan batasan diri terhadap oranglain. Rasanya, dengan mendengar jawabannya, aku tidak perlu terlalu khawatir. Aku yakin dia akan bisa menjaga diri sesuai kapasitasnya sebagai sosk anak, teman, maupun seseorang yang sedang terus bertumbuh. 

Bincang ini sungguh kusyukuri, meski terus berlanjut sampai ke meja makan tetapi aku jadi mengerti apa yang pernah dikhawatirkan bapak kepadaku. Dengan batas pemahamanku dahulu, sepertinya anakku jauh lebih cerdas membacanya. Terakhir, anakku bilang, “Maaf ya bu, kadang aku marah-marah karena kecewa, seharusnya itu tidak perlu”, kali ini membuyarkan adalah genangan yang tak bisa lagi kutahan dipelupuk mata. 

“Cicak-cicak di dinding… hihihi” terdengar tawa anakku diujung sana. 

📸 Pinjam dari sini 

You May Also Like