“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”
-Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca
Sore itu, saya kalah suit melawan Kak Luna. Tidak tanggung-tanggung, saya kalah telak dengan poin 0-3. Sehingga sesuai kesepakatan awal, yang kalah harus maju sebagai perwakilan SMP untuk menjadi panitia Selametan Semi Palar yang ke-20. Maka begitulah, kronologi awal saya nimbrung di belakang layar hajat Selametan ini.
Saya tidak bisa bilang bahwa saya berkontribusi besar di belakang layar, sebab pada banyak momen, saya cuma menyimak berbagai ide dan teknis yang dilemparkan oleh kakak-kakak lain. Kendati begitu, saya dapat mengetahui banyak pola pendiskusian belakang layar di Semi Palar ini.
Pada pertemuan perdana dalam rapat Selametan ke-20 ini, Kak Andy menyampaikan bahwa ide besar Selametan kali ini adalah perkara spirit, spirit awal Semi Palar yang coba diremajakan kembali. Dua puluh tahun setelah Semi Palar bergulir, memang bukan waktu yang sekejap. Jika diibaratkan seorang manusia, berarti kira-kira ia telah masuk kuliah tingkat dua, barangkali sedang hangat-hangatnya menjalin kisah kasih dengan seseorang lain sebelum kisah berbunga-bunga itu diuji dalam program KKN.
Kembali lagi, Kak Andy menyampaikan bahwa perkara spirit ini setidaknya dapat diremajakan dan dijaga dengan sebuah laku yang bersifat ritual. Pada saat itu, saya menyambung-nyambungkan benang dalam kepala saya. Setelah berbagai ide dan teknis disampaikan oleh kakak-kakak lain, saya sempat menyampaikan juga pemikiran saya dengan coba mundur pada ranah gagasan abstrak. Saya kira, laku ritual bukan hanya tentang mengerjakan sesuatu yang dapat dirasakan langsung dampaknya secara fungsional, melainkan melakukan sesuatu yang sifatnya simbolik. Dengan kata lain, menghadirkan laku yang dapat dimaknai. Laku ritual ditujukan kepada sesuatu yang abstrak, dalam hal ini spirit Semi Palar. Apa itu spirit? Kita tidak tahu dan tidak pernah tahu bentuknya, tidak dapat mengindranya. Satu yang pasti kita cuma mengamini dan mengimani bahwa spirit itu ada, bisa dikatakan sesederhana itu, setidaknya bagi saya. Meskipun, pada saat itu saya tidak benar-benar selesai menyampaikan hal ini, khususnya bagian-bagian yang terakhir saya tulis barusan.
Lompat ke pertemuan-pertemuan pra-Selametan berikutnya, tiba juga pemilihan penanggung jawab kakak pada berbagai seksi kegiatan. Saya dipilih untuk terlibat pada bagian penutup kegiatan, yang belakangan diberikan kepercayaan untuk menjadi penulis sekaligus pembaca puisi. “Waduh,” pikir saya awalnya. Belum juga lewat dua bulan saya bergiat sebagai kakak di Semi Palar, dengan alasan yang sama jugalah saya mengiyakan kepercayaan itu. Pada saat yang bersamaan, saya juga belum sepenuhnya bisa menyeimbangkan berbagai persoalan di kelas. Di kelas sendiri, satu-dua hal terjadi, berikut satu-dua hal itu perlu diatasi dan disiasati.
Meskipun belum mulai menulis draf puisi, hampir setiap hari pikiran saya dibayang-bayangi oleh apa yang harus saya tulis. Keyakinan saya, puisi bukanlah tahu bulat yang bisa digoreng dadakan. Pada suatu petang, Kak Andy pun mulai mengirimkan pesan dengan maksud untuk bertanya jika ada hal yang perlu dibantu, semakin tertekanlah saya saat itu. Sedikit pengakuan dosa, saya akhirnya tidak menepati omongan sendiri terkait mengirimkan puisi pada hari Kamis, yakni H-2 kegiatan. Sebenarnya, saya sempat menyelesaikan draf awal dan mengirimkannya kepada Kak Andy pada hari Kamis pukul 23:59. Namun ketika saya membaca lagi draf puisi tersebut dan melihat ceklis pesan yang belum berwarna biru, akhirnya saya memutuskan untuk menghapuskannya kembali. Alasannya, seperti penjelasan pada kalimat kedua paragraf ini.
Bahkan sampai H-beberapa jam sebelum pembacaan puisi, saya masih merasa ada bagian-bagian yang perlu dibongkar pasang. Pertimbangan besarnya, saya berpikir untuk membuat puisi yang kiranya bisa relevan bagi berbagai rentang usia, anak-anak, remaja, dan orang tua, belum lagi dari sudut Kakak, siswa, dan keluarga siswa. Saya tidak terlalu tahu, bagaimana akhirnya puisi ini tersampaikan kepada banyak orang. Namun saya sangat merasa tersanjung dan terharu atas respons yang saya terima dari puisi yang saya tulis dan bacakan. Terima kasih sekali untuk hal ini. Beberapa kali saya menulis puisi, baru kali ini saya mendapatkan kehangatan semacam ini.
Begitulah, narasi yang saya sampaikan ini mungkin terasa sangatlah sederhana. Saya coba menyinggung kutipan Pramoedya di awal tulisan ini, perkara hidup dan tafsirannya. Bagi saya kutipan tersebut bukanlah pernyataan yang kelewat pesimistik. Sebaliknya, justru tafsiran, atau dalam hal ini pemaknaan, memang punya peran yang sehebat itu. Makna selalu abstrak dan bisa membangkitkan sesuatu yang abstrak dalam diri kita. Selalu ada makna dari laku sederhana seperti mengumpulkan air dalam satu kendi, membuat nasi tumpeng, membentangkan kain bergambar bintang, mengikat bambu berbentuk bintang, mengarak kain biru, menyusun foto berbentuk spiral, main suit, kalah suit, menulis puisi, juga membacakan puisi. Sementara, makna dari semua kegiatan itu bisa didapatkan hanya jika ingin memaknainya. Di tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk menjelaskan makna dari berbagai hal. Bagi saya, makna hadir bukan karena dijelaskan, tetapi ditemukan.
2024
*Foto oleh Kak Matheus "Mamat" Aribowo
Mantap kak Dhimas esainya. Ini mah porsinya 3 AES sebetulnya... Saya pikir ini jadi catatan penting buat kita semua di Semi Palar terkait makna, dan datang dari proses yang dijalani oleh kak Dhimas sebagai kakak yang baru bergabung. Nuhun pisan. 🙏🏼😊
Hehe, berarti ini masuk AES 3,4,5 saya, Kak Andy. . Amin amin, nuhun kembali Kak 🙏
Puisi Ka Adhimas plus suasana yg khusyuk, bikin acara Selametan kmrn jd satu paket komplit. Jd dapet banget spirit babarengan di rumah belajar Smipa
Nuhun pisan, Pak Husen 🙏.