Seperti biasa hari Minggu malam saya dan keluarga berkumpul di rumah orangtua untuk makan malam dan berbincang. Obrolan bergeser ke soal agama. Bukan hanya di salah satu agama, tapi fenomena ini muncul di berbagai agama.
Saya sendiri berpandangan bahwa agama pada saat awal dilahirkan tujuannya baik. Sebagai panduan spiritual, agama dibutuhkan oleh manusia untuk menjembatani manusia sebagai jalan untuk masuk - beralih ke ranah spiritual. Jadi sederhananya, agama berpijak di dua ranah karena memang fungsinya itu, sebagai jalan atau sarana manusia yang hidupnya sangat materialistik agar bisa lebih mudah menemukan atau mengenal sisi keTuhanannya - spiritualitas dirinya.
Bagaimana membedakannya, semestinya cukup sederhana. Ranah material itu kebanyakan sangat ekspresif (mudah dilihat dan dilihat) sedangkan ranah spiritual sebaliknya sangat hening, sangat kontemplatif dan lebih berfokus ke dalam diri. Dengan segala hormat, ijinkan saya mengutip apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW (kutipan saya ambil dari Republika.id:
Rasulullah SAW bahkan pernah bersabda: من عرف نفسه، فقد عرف ربّه “Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu,”. Yang artinya: “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Saya bukan penganut Islam, saya bersepakat dengan pesan di atas ini. Kebesaran Tuhan bisa ditemukan di dalam diri - saat manusia betul-betul duduk dalam diam dan berada dalam hening.
Yang jadi masalah, kebanyakan agama juga terjebak di ranah material, kebanyakan praktik keagamaan masih berkutat di ritual dan bangunan-bangunan keagamaan yang serba hebat. Semua masih fokus pada apa yang tampak dari luar. Ya ini sekedar jadi catatan hari ini. Jadi menurut saya, kita memang perlu menemukan praktik-praktik spiritual agar keagamaan kita juga semakin bermakna - supaya tidak terjebak di lapisan luar praktik keagamaan kita. Salam bahagia teman-teman semua.
Photo by Ali Arapoğlu from Pexels