Tulisan kali ini adalah catatan dari obrolan saya dan kak Lyn bersama teman-teman kami yang kebetulan sama-sama pendidik tapi di jenjang yang berbeda. Tiga teman kami ini masing-masing pak Agus, bu Winna, keduanya dosen jurusan Matematika Unpar, kemudian juga ibu Asih yang mengajar di jurusan Ekonomi Pembangunan, sama-sama dosen Unpar.
Obrolan berlangsung di tengah-tengah liburan Idul Fitri yang baru lalu. Ngerumpi istilah populernya. Asik sekali obrolan kami hari itu entah berapa jam kami berbincang dan berbagi cerita. Tapi satu hal yang ingin saya bagikan di sini adalah tentang Ke Tidak-Sadar-an. Ga tau tuh apakah ada istilah bahasa Inggrisnya, kalau ada mestinya jadi Unawareness.
Kenapa pembicaraan kami bisa sampai ke situ. Awalnya kita bicara tentang orientasi pendidikan yang akademik vs non-akademik. Antara pengetahuan dan pendidikan karakter, mana yang lebih penting. Ke mana orientasi pendidikan kita - terutama di level pendidikan tinggi diarahkan.
Cerita pertama datang dari pak Agus - yang beberapa waktu lalu menjalankan kegiatan Pengabdian Masyarakat - di mana para mahasiswa mendampingi orangtua murid SD di sekitar Unpar untuk belajar Matematika agar mereka bisa melanjutkan proses belajar putra-putrinya di rumah, sepulang sekolah. Kegiatan ini sempat berjalan untuk beberapa waktu.
Di suatu waktu, salah satu mahasiswa pak Agus bercerita bahwa dia terkejut - karena ada seseorang yang menyapanya saat dalam perjalanan ke kampus. "Neng, bade kuliah?", begitu kira-kira kejadiannya. Kenapa mahasiswa itu kaget, karena selama ini dalam perjalanan dari tempat kos ke kampus dan sebaliknya, mahasiswa ini seperti mengenakan kacamata kuda - seperti menutup mata terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Itu sebabnya dia bisa begitu kaget saat ada seseorang yang tidak dikenalnya menyapa dia. Ternyata orang yang menyapanya adalah salah satu orangtua yang difasilitasi proses belajar matematika untuk mendampingi putra-putrinya belajar... Hmm, ketidak-sadaran.
Cerita kedua datang dari ibu Asih - yang mengajar di manajemen di jurusan Ekonomi Pembangunan. Singkat cerita, ibu Asih berkisah di dalam sebuah perkuliahan, beliau menyebut tentang kemiskinan. Sebetulnya biasa saja, tapi saat itu, entah kenapa, mungkin mengamati ekspresi wajah mahasiswa, bu Asih bertanya ulang, "Eh, kalian tau kan kemiskinan?". Lagi kelas tidak banyak berreaksi - sampai bu Asih bertanya lagi, "Coba-coba, menurut kalian kemiskinan itu apa sih? Seperti apa?" Dan lagi mahasiswa tidak banyak merespon. Akhirnya setelah mencoba beberapa kali memancing dengan beberapa pertanyaan lanjut, jawaban demi jawaban mulai muncul.
Hmm, jujur saya agak kaget mendengar cerita itu. Cerita itu menggaris bawahi judul tulisan ini, ketidak-sadaran. Yang jadi titik perhatian adalah bagaimana mahasiswa (cetak tebal, di garis bawahi), kemudian juga Ekonomi Pembangunan, ini juga dicetak tebal dan digaris-bawahi, ternyata kesulitan untuk menjelaskan tentang kemiskinan....
Ini titik keprihatinan saya. Sangat-sangat prihatin. Bagaimana mungkin mahasiswa yang belajar di jurusan Ekonomi Pembangunan masih kesulitan untuk mendefinisikan - menjabarkan apa itu kemiskinan. Kemungkinan penyebabnya bisa jadi banyak, tapi apapun itu, saya pikir ini sangat mengkhawatirkan. Salah satu kemungkinannya, menurut pandangan saya adalah karena proses belajar anak-anak kita yang terpisah - berjarak (bahkan sangat berjarak) dengan kehidupan nyata yang ada. Ini adalah salah satu titik kegagalan dari sistem pendidikan kita.
Menutup tulisan ini, saya tambahkan apa yang diungkap Tan Malaka tentang pendidikan dan proses melebur dengan masyarakat. Semoga menjadi catatan kesadaran kita semua. Salam.
Photo by cottonbro studio: https://www.pexels.com/photo/close-up-shot-of-a-man-with-white-butterflies-on-his-face-10176435/