Hari-hari ini Kemalasan seperti mengupas kulitku. Ia kusambut dengan berjalan mencari mulut sang waktu. Kehendak si Menunda memberiku lengan untuk membuka selebar-lebarnya mulut waktu. Di hadapan waktu yang menganga, Kemalasan dan Menunda bekerjasama mengikuti aba-aba dari pikiranku sendiri.
1, 2, ... tepat pada hitungan ketiga sepenuhnya ku ditelan waktu. Mulut waktu tak perlu banyak bekerja, sebab ku telah hancur sebelum dikunyah. Lorong resah memijat beban-beban pikiranku agar semakin lancar menuju lambung. Asam di lambung tak lebih menyiksa daripada penyesalan-penyesalan yang mendorong gundah ke uluh hati dan menekan dada, paru-paru, juga jantung kehidupanku.
Sekarang, ku sedang meminta tambahan waktu pada sang waktu. Biar kucerna lebih halus semua ini. Meski nanti mengeluarkan bau, tetapi lega memang sering mewujud hirupan-hirupan panjang yang memenuhi dan embusan yang kembali mengosongkan. Tetapi kusenang ditelan waktu.