Kemarin, setelah menghabiskan waktu untuk mudik lebaran di rumah mertua, waktunya bergeser untuk bertemu kembali dengan keluarga orangtuaku. Tahun ini kebetulan jadwal kami untuk berlebaran dengan keluarga suami. Kami pulang dari kediaman mertuaku menggunakan motor. Entah kenapa, aku dan suami ku lebih nyaman berpergian menggunakan motor. Mungkin karena motor bisa dipake buat sat set sat set dikala macet. Setelah cek prakiraan cuaca yang memperkirakan tidak ada hujan dihari itu hanya akan mendung saja, maks kami memutuskan pergi setelah ashar, supaya cuaca juga tidak terlalu panas, ya cocok untuk berkendara sepeda motor. Karena satu dan lain hal kita baru bisa pergi di jam lima sore. Perjalanan normal dari rumah mertuaku ke rumah orangtuaku kurang lebih selama dua jam, ini kalo bebas hambatan. Anak ku yang baru berusia dua tahun sedang aktif-aktif nya menemukan kosakata dan mengulang kosakata baru nya. Menambah kamus percakapan untuk dipraktekkan. Sudah sering bertanya ketika diperjalanan, tanya ini dan itu secara berulang. Aku terbiasa mengajaknya mengobrol atau menceritakan apa yang kami lihat selama diperjalanan, menambah pengetahuan untuk anakku yang belum tau apa-apa. Meskipun hanya sekedar memberi tahu tiang itu tiang listrik. Waktu itu sore hari agak mendung, malah sudah gerimis, tapi tidak begitu besar, makanya kami berani untuk pulang. Saat menjelang malam, langit pun berubah, yang tadinya terang sekarang menjadi gelap. Diantara kegelapan di langit kala itu, ada sebuah cahaya yang nampak jelas terang membentuk lengkungan cantik. Ternyata itu bulan, bulan berbenntuk sabit. Sangat terang, dan sangat jelas. Aku kenalkan bulan pada anakku.
“Nak lihat, itu ada bulan!”
“Ana mah ana (mana mah mana)”
“Itu !”
“Waaaah iya buan adus (waaaah iya bulan bagus)”
Selama perjalanan anakku terus menatap bulan itu, meski ada di langit yang sama, karena kita melakukan perjalanan, kadang bulan ada di persepektif yanh berbeda, tapi tidak menghentikkan anakku untuk terus melihatnya.
“Mah bitang mah bitang (mah bintang mah bintang)”
Anakku melihat bintang, saat itu tidak hanya bulan yang terang tapi bintang juga terang. Setelah masuk area perkotaan, cahaya bintang itu pudar.
“Yah bitang buan iyang mah (yah bintang, bulan ilang mah)”
Iya, cahaya mereka tidak lagi nampak, setelah kusadari ternyata ada awan gelap menutupi cahaya bulan.
Meninggalkan daerah kota bulan kembali bersinar dan bintang mulai bermunculan, sesaat aku sadari ternyata langitpun lebih gelap dari langit di jalanan kota. Cahaya lampu di perkotaan memberikan sinar untuk langit, tapi menyembunyikkan cahaya bintang.
Ternyata, terkadang untuk bisa melihat cahaya terang, kita butuh kegelapan.
Aku bicara pada diri sendiri, jadi jangan takut gelap, untuk bisa bertemu cahaya kita perlu menembus kegelapan. Aku menyemangati diri, jangan takut gagal, karena gagal bisa membawa kita pada keberhasilan.
Aku belajar dari anakku tentang ini. Ya anakku! Karena dia yang bertanya tentang kemana ilangnya bulan, sampai kita ada di titik renungan ini.
Ini tulisan pertamaku yang dipublikasikan, sadar tidak terlalu jelas, tapi tak apa, aku sedang belajar, hehe.
Kak Dewi bagus banget tulisannya🥲