Kemarin adalah Selasa ketiga kami memulai kembali bermandala di sekolah. Rindu yang lama terpendam dan diredam masing-masing, mulai terurai perlahan. Selasa pertama kami melemaskan lagi jari-jemari. Dari obrolan Selasa pertama, muncul gagasan untuk eksplorasi media dan alat yang berbeda. Jadilah Selasa kedua kami mencoba bermandala tanpa peralatan pada umumnya, seperti busur, jangka, dan penggaris. Kami bersenang-tenang menggunakan krayon. Untuk pertama kalinya. Ternyata tidak kalah seru. Setiap alat dan media selalu memiliki keseruannya masing-masing. Sebab alat hanya memanglah alat, tetapi yang utama ialah kesenangan dan ketenangan proses bermandala bersama. Masih sama, setelah duduk melingkar dan saling menyapa, kami akan langsung memasuki dimensi pikiran dan perasaannya sendiri-sendiri. Setelah merasa cukup dan selesai, barulah kami kembali ke "bumi" dan saling mengapresiasi karya mandala teman lain yang selalu saja unik dan menarik.
Selasa kedua kami kedatangan teman baru, Kak Ninda. Orang baru, selalu membawa karakter yang berbeda. Tidak pernah ada yang sama. Begitu pun gaya Kak @ninda mencipta mandalanya. Semoga Kak @ninda berkenan menuliskan kesannya bermandala di ruang ini. Sebab pada Selasa ketiga kami kagum dengan mandala Kak @ninda yang disusun dari pola-pola yang dekat dengan latar belakang keilmuannya. Sekali lagi, semoga Kak @ninda mau menceritakannya di ruang ini agar kita semua bisa melihat dan mengenal mandalanya.
Selasa ketiga bersama mandala. Aku belum benar-benar mau bermandala dengan peralatan biasanya. Melihat beberapa hari ini yang berangin kencang, cuaca yang cukup terik, dan dedaunan yang berguguran tersapu angin, aku memutuskan untuk merespon keadaan. Sebab hampir di seluruh sudut sekolah, daun kering, bebijian, ranting, dan bunga-bunga terserak. Tak hanya yang sudah kering, sering juga daun-daun yang masih hijau tergeletak di antara daun lain yang mulai meranggas. Apalagi tabebuya kuning yang begitu cerah menghiasi halaman pendopo. Sembari berbincang negosiasi dengan angin, perlahan kuambil setiap bagian pohon yang terhempas dan terlepas itu. Kukelompokkan mereka dari ukuran, warna, dan bentuknya. Setelah merasa semua bahan tercukupi, perlahan kurangkai mereka membentuk pola dan geometri yang menurutku indah dan selaras.
Dalam proses mengumpulkan dan menyusun mandala itulah, ada banyak sekali percakapan di dalam diri. Dengan diri maupun dengan bunga-bunga, ranting, daun, bebijian, juga sang angin yang terus bertiup dalam irama-irama yang akhirnya kuhafal menjelang akhir penyusunan mandala. Negosiasi alot sempat terjadi dengan sang angin. Sebab aku berkali-kali mesti lebih sabar dan membaca pola kapan ia reda dan kapan kembali kencang menyapu mandalaku. Angin yang sesekali menggoda melalui pola acak yang terjadi, aku tertawa sendiri karena harus berkali-kali menyusun ulang bagian yang sama, yang diterbangkan oleh angin yang tak berhasil kutebak arah dan waktu datangnya.
Seketika aku merasa menjadi seorang filsuf, itulah yang membuatku tertawa sendiri dan menertawakan diri sendiri. Dari pepohonan kita bisa belajar untuk ikhlas, melepas ranting, daun, biji, dan bunga-bunganya. Dari angin aku bisa belajar menertawakan ketidakpastian. Dan dari ketidakpastian kita bisa belajar memahami, bahwa yang menghancurkan mungkin ketidakmampuan kita menerima hal-hal yang tak pasti itu. "Tuh, kan malah sok-sok merasa jadi filsuf."
Terima kasih Kak @innocentiaine, Kak @Yantisuryanii7 , Kak Sizi, dan Kak @ninda untuk bermandala bersama di hari Selasa.
Terima kasih atas ceritanya, kak Mamat. Sudah lama tidak hadir di ruang ini. Tulisan keren ini sangat menarik - dan sepertinya akan jadi bagian dari obrolan kakak tentang spirit smipa. Salam. 🙏😊
Dengan senang hati, @kak-andy semoga bermakna 🙏😊🌿