"Ada!" jawaban yakin untuk pertanyaan judul. Setidaknya itu ada sebagai judul sebuah film. Kalau dalam kehidupan sehari-hari? Jadi ingat pertanyaan, "Apakah kamu hidup berbahagia?" Bisa panjang kalau bahas pertanyaan ini. Tulisan ini cuma pengen menuliskan hal sederhana setelah menyaksikan cuplikan film Perfect Days saat Hari Belajar tentang Spirit Smipa siang tadi. Selain soal "Komorebi" yang rasanya ini adalah hal sederhana yang pasti semua orang suka.
Secara sederhana, aku menangkap pesan ajakan untuk menjalani hidup dengan cara "sehidup-hidupnya". Memaknai kembali segala perkara kecil dalam keseharian atau rutinitas kita yang mulai berjalan auto pilot dan redup maknanya. Tokoh utama yang adalah seorang petugas pembersih toilet, sebuah pekerjaan amat sederhana - tetapi penting - yang justru mampu memandang dan menikmati hidup dengan sehidup-hidupnya. Bagaimana caranya? Sekurang-kurangnya ialah dengan menyederhanakan hidup - mengurangi distraksi - seperti tidak punya dan tidak menyaksikan TV, tidak memakai gawai yang artinya juga tidak ada media sosial, sehingga dapat lebih hadir utuh dalam setiap momen kehidupan. Sebelumnya kujumpai juga hal ini dari buku Goodbye Things Hidup Minimalis Ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki. Dalam buku itu juga diceritakan bahwa hidup minimalis sebenarnya memang cara hidup masyarakat Jepang sejak dahulu. Bahkan Apple mengadopsi itu pada produknya, yang kemudian membuatnya digemari. Diceritakan bahwa Steve Jobs memiliki kecintaan pada konsep hidup minimalis orang Jepang. Tetapi, orang Jepang sekarang justru kehilangan itu.
Kembali ke dalam ruang kelas di Smipa, seorang anak begitu semangat dan memancarkan cahaya di kedua matanya. Tangannya yakin diacungkannya ke atas tepat ketika Kakak merampungkan kalimat penjelasan tentang Kebutuhan Manusia (materi terpadu SD3). "Kak, berarti hidup tuh sebenernya sederhana, ya? Kan, kita cuma butuh makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Kayaknya, yang banyak malah keinginan kita." Benak orang dewasa mungkin akan sangat cepat menyajikan jawaban semacam, "Tidak segampang itu Ferguso!" atau "Iya, itu kalau orang jaman dulu." atau "Sekarang kan, jaman udah beda. Kebutuhan nambah banyak." Dari asumsiku tentang jawaban-jawaban ini pun memunculkan ingatan tentang seorang kawan yang pernah bercerita dengan begitu mendalam tentang pengalamannya melihat dan mengamati tupai yang berjalan di atas kabel listrik di atas lampu merah. Seketika ia menengok pada pengendara lain yang ternyata tak ada yang menyadari keberadaan tupai. Lantas ia berkata dengan nada yang meyakinkan, mengajak, dan penuh makna, "Ah, kenapa sih orang-orang nggak bisa menikmati dan berbahagia dengan hal-hal sederhana? Sesederhana menikmati gerakan tupai di atas kabel pas mereka lagi nungguin lampu hijau." Kenapa, ya? "Kok tanya saya, tanya aja sama tupainya."
Wow. Terima kasih kak Mamat untuk esainya pagi ini. Indah sekali membacanya. 🙏🏼
Dengan senang hati, Kak Andy. 😊🌿