Hari libur, hari yang cerah. Meski angin tetap besar dan terasa cukup dingin, matahari bersinar tanpa awan. Tak ada agenda khusus hari ini. Jadilah memanfaatkan waktu libur dengan membersihkan kebun. Tepatnya mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh subur dan sesuka hati di antara tanaman atau rumput. Bila diingat-ingat, mencabuti rumput liar itu sesuatu yang sudah sejak lama aku sukai. Gatal rasanya bila melihat ada ilalang yang tumbuh malang melintang di antara tanaman-tanaman yang sengaja ditanam. Ada kepuasan tersendiri saat melihat tanaman-tanaman tersebut terbebas dari ilalang, bisa bertumbuh lega tanpa harus berebut lahan dan makanan di dalam tanah.
Aku sempat membaca tulisan Paolo Coelho yang mengatakan bahwa ‘ilalang’ adalah usaha bertahan hidup dari spesies tertentu yang tercipta dan dikembangkan oleh alam selama jutaan tahun. Itu berarti setiap aku mencabut satu ilalang berarti aku mengakhiri satu kehidupan; kematian sekuntum bunga yang seharusnya mekar di musim semi, juga lambang keangkuhan manusia yang selalu mencoba membentuk lanskap di sekitarnya.
Wah, aku ga pernah berpikir sejauh itu. Seolah si ilalang mengatakan jauh-jauh aku datang kemari, kenapa kamu menghabisi aku? Dari sisi si rumput seolah mengatakan lindungi aku, kalau tidak ilalang itu yang akan merajai aku. Pembenaran diri mengatakan, ini bukan semata mengakhiri kehidupan, tapi kehidupan yang tidak semestinya. Lantas jadi berpikir tentang intervensi manusia terhadap alam yang lebih banyak berdampak negatif. Pada kenyataannya alam akan terus berusaha untuk bertahan hidup, menyebarkan diri kemana-mana. Dan manusia tanpa ataupun dengan keangkuhannya akan tetap melakukan apa yang memang harus dilakukan.
Namun satu pelajaran yang aku sepakati dari Coelho dari proses mencabut rumput liar ini adalah, ‘Jikalau ada sesuatu yang tidak baik tumbuh di dalam jiwaku, aku mohon pada Tuhan supaya memberiku kekuatan yang sama untuk mencabut dan membuangnya tanpa ampun’.